Diposting oleh Warungnet on 13.02
Label:


GAYANYA tak berubah. Baik penampilan maupun caranya bicara, cenderung apa adanya. Ketika tampil menghibur simpatisan salah satu partai di Lapangan Tegallega Kota Bandung, akhir pekan lalu, ia “nyaris tak berubah” dengan ketika menerima Anugerah Jabar Music Award 2005 atau penghargaan sebagai Tokoh Jawa Barat pada puncak HUT ke-52 RI . Itulah Hendarso, atau lebih populer dengan nama panggung Darso.

“Saya hanya menjalankan profesi sebagai seniman. Seperti seniman Sunda umumnya, menjalankan profesi agar dapur tetap ngebul,” ujarnya.

Di usianya yang memasuki kepala enam, Darso masih energik dan penuh semangat. Apalagi bila diajak berbicara seputar seni Sunda, khususnya pop Sunda. Ucapannya yang kerap ceplas-ceplos, terasa bermuatan apa adanya, ungkapan jujur dari hari seorang seniman. Kadang, emosinya muncul bila diajak mengenang ke masa awal ia meniti karier, saat kehadirannya di ranah pop Sunda era 1990-an dihujani kritik dari seniman lain.

Semuanya berawal dari peluncuran album pop Sunda bertajuk “Cucu Deui” yang disebutnya sebagai hasil kolaborasi antara musik tradisional (calung) dan modern (pop). Didukung oleh penampilan video klip yang rada nyeleneh layaknya penyanyi pop, Darso yang dianggap sebagai seniman karawitan, dicap telah keluar dari pakem berkesenian (karawitan).

“Saat itu saya tidak menggubris. Biarlah orang mengatakan apa tentang karya saya, karena seorang seniman seperti saya ini dituntut untuk lebih kreatif dalam membuat karya,” ujar Darso.

Benar saja, album “Cucu Deui” laris manis di pasaran. Tak hanya itu, kaset, CD, dan VCD bajakan yang dijual di emperan dan kaki lima juga laris bak kacang goreng. Marahkah Darso? Tidak. Justru Darso merasa senang kaset, CD, dan VCD lagunya dibajak. “Karena saya yakin, karena orang banyak mengenal lagu saya, jadi mereka ingin menanggap manggung, jadi saya tetap dapat uang,” ujar Darso kalem.

Benar saja, sejumlah tawaran manggung pun bermunculan. Hebatnya lagi Darso, untuk menunjukkan eksistensinya dalam dunia musik, justru tawaran manggung di pelosok yang lebih banyak disanggupi dibandingkan tawaran manggung di kota atau pinggiran perkotaan.

Politik marketing yang dijalankan benar-benar ampuh. Nama dan wajahnya tidak hanya dikenal publik penikmat musik di perkotaan, tetapi hingga ke pelosok perdesaan. “Ya, kalau di perkotaan orang bisa melihat saya kapan saja dan di mana saja melalui televisi dengan menyetel CD atau VCD, sedangkan masyarakat di perkampungan?” ujar Darso.

Karena kebiasaannya yang lebih mementingkan tampil di pelosok, di kalangan seniman maupun pemerhati musik, Darso dijuluki local hero. Kini, tidak hanya grup-grup calung yang menjadikan Darso sebagai panutan, tetapi juga seniman pop Sunda lainnya. Hal ini membuat Darso semakin terpacu untuk membuktikan dirinya sebagai musisi yang memiliki segudang kreativitas serta inovasi dalam bermusik. “Saya merasa semakin tertantang dan ingin musik Sunda benar-benar diterima di rumahnya sendiri, syukur-syukur dinegerinya sendiri,” ujar Darso.

Ini dibuktikan dengan lahirnya sejumlah tembang yang merajai tembang pop Sunda tidak hanya untuk konsumsi Jawa Barat, tetapi juga luar Jawa Barat. Sepeti tembang, “Duriat”, “Ulah Ceurik”, “Mega Sutra Pantai Carita”, “Bentang Cilampuyang”, “Marimpi” (Engklak-engklakan), dan “Maribaya”. Bahkan album “Kabogoh Jauh” dan “Dina Amparan Sajadah” yang sempat dibuat remix penyanyi rap Ebieth Bieth dan dinyanyikan sejumlah penyanyi pop Sunda lainnya, diakuinya mencapai lebih 200.000 keping.

Kiprah penyanyi yang kini lebih senang bergaya ala Michael Jackson: rambut kelimis dibiarkan terurai mengenakan kacamata tebal hitam, lengkap dengan topi dan terkadang kemeja putih dengan bretel, selama ini dikenal sebagai penyanyi dengan latar belakang sebagai pemain calung. Padahal latar belakang bermain musik Darso tidak jauh beda dengan pemain musik di era tahun 1960-an, yang berkiblat pada musik yang bergaya kebarat-baratan.

Berawal dari calung

Pada sekitar tahun 1962, Darso bergabung dengan grup band Nada Karya. Bersama grup band tersebut, Darso rutin tampil di Gedung Wanita, Jalan L.L.R.E. Martadinata, mengiringi Tetty Kadi dan Lilis Suryani. Namun, karena terjadi Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965, Darso dan Nada Karya menghentikan kegiatan karena keluar larangan dari pemerintah.

Pasca Gestok 1965, Darso sempat bergabung dengan band Kavaleri, tapi lebih banyak tidak mainnya dibandingkan main. “Karena ngak manggung-manggung jadinya bosen, kami coba-coba main calung. Padahal sebelumnya saya teu resep maen calung teh,” tutur Darso.

Bersama grup calung Darso Putra, Darso pun diajak Baskara untuk mengisi acara “Baskara Saba Desa” yang dilakukan secara road show ke daerah-daerah dan disiarkan secara langsung oleh TVRI. Dari sinilah kehadiran Darso lebih dikenal sebagai seniman tradisi, pemain calung!

Peran dan keterlibatan Uko Hendarto, yang tak lain kakak kandung Darso, di awal tahun 1970-an, sangat menentukan sukses perjalanan Darso. Tembang “Kembang Tanjung” karya Uko Hendarto, menjadi kojo setiap penampilan Darso Putra. Bahkan sejumlah tembang sempat direkam dalam bentuk PH (piringan hitam). “Waktu itu zaman sedang sulit-sulitnya, tidak seperti sekarang ini, krisis ekonomi global tapi barang nyampak tinggal punya uang pasti bisa beli,” ujarnya.

Memasuki tahun 1980-an, masih dalam formasi grup calung, secara rutin karya-karya Darso dan Uko Hendarto dipitakasetkan. Ketika pita kaset mulai bergeser ke format cakram padat (CD/VCD), Darso merekam ulang karya-karyanya dalam bentuk CD dan VCD.

“Bahkan tidak tanggung-tanggung, saya juga membuat video klip seperti penyanyi pada umumnya. Maksudna mah agar orang mengenal wajah saya, tidak hanya lagunya. Tapi, malah loba anu protes karena kolaborasi musik saya dan penampilan saya mengenakan baju kasual atau jas,” ujar Darso.

Darso hadir dalam dunia musik tak hanya demi menggantungkan nafkah hidup. Lebih dari itu, dia mencoba membuat inovasi dan eksperimentasi agar musik dan lagu yang dibawakannya bisa sesuai dengan zaman dan diterima pasar. Meski demikian, ia tak begitu saja melepas ciri khas yang melekat dalam dirinya, sebagai seorang Darso.

Kini, seluruh upayanya terbukti jadi booming. Belakangan sejumlah operator telefon selular meminta lagunya untuk dijadikan ring back tone (RBT). Karena itu, dengan segala kekurangannya, Darso harus diakui surat turut mewarnai industri musik di tanah air, khususnya pop Sunda. Kreativitasnya menghidupkan musik pop Sunda lewat perkawinan dua genre musik (tradisional dan modern) memberinya nilai lebih sehingga ia memang pantas disebut sebagai local hero.
newspaper.pikiran-rakyat.com

Berita Terkait



0 komentar:

Dengan Mengklik Link Dibawah ini, berarti anda telah Menyumbang Warungnet Agar Lebih Baik! Terima Kasih.

Search